LAPORAN PRAKTIKUM
ILMU REPRODUKSI TERNAK
(PALPASI
REKTAL)
Dianjurkan Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Melulusi Mata
Kuliah Ilmu
Reproduksi Ternak Pada Jurusan Ilmu
Peternakan Fakultas Sains
dan Teknologi
Universitas Islam Negeri
Alauddin
Makassar
Oleh:
MUH DADANG KURNIAWAN
60700114073
LABORATORIUM ILMU PETERNAKAN
JURUSAN ILMU PETERNAKAN
FAKULTAS SAINS DAN
TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
ALAUDDIN
MAKASSAR
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Periode
kebuntingan dimulai dengan pembuahan dan berakhir dengan kelahiran anak yang
hidup. Peleburan spermatozoa dengan ovum mengawali reaksi kimia dan fisika yang
majemuk, bermula dari sebuah sel tunggal, yang mengalami peristiwa pembelahan
diri yang berantai dan terus menerus selama hidup individu tersebut tetapi
berbeda dalam kadar dan derajatnya sewaktu hewan menjadi dewasa dan menjadi
tua. Sesudah pembuahan, yang mengembalikan jumlah kromosom yang sempurna,
pembelahan sel selanjutnya bersifat mitotik sehingga anak-anak sel hasil pembelahannya
mempunyai kromosom yang sama dengan induk selnya. Peristiwa ini berlangsung
sampai hewan menghasilkan sel kelamin (Marawali, 2010).
Pertumbuhan
dan perkembangan individu baru selama kebuntingan merupakan hasil dari
perbanyakan jumlah sel, pertumbuhan, perubahan susunan serta fungsi sel.
Peristiwa tadi mempengaruhi perubahan-perubahan tertentu, beberapa di antaranya
merupakan ciri dari tahap perkembangannya. Meskipun perkembangan anak dalam
kandungan berlangsung terus menerus, namun kebuntuingan kadang-kadang
dinyatakan terdiri dari 3 tahap yaitu periode ovum, periode embrio dan periode Fetus (Marawali, 2010).
Berdasarkan
perihal tersebut maka dilakukanlah praktikum ini agar mahasiswa dapat
mengetahui bagaimana tata cara dalam melakukan Palpasi rektal atau mendeteksi kebuntingan dengan baik dan benar
pada ternak khususnya pada sapi.
B. Rumusan Masalah
Rumusan
masalah pada praktikum ini adalah bagaimana tata cara dalam melakukan Palpasi rektal atau mendeteksi
kebuntingan dengan baik dan benar pada ternak khususnya pada sapi ?
C.
Tujuan
Tujuan
dari praktikum ini adalah untuk mengetahui tata cara dalam melakukan Palpasi rektal atau mendeteksi
kebuntingan dengan baik dan benar pada ternak khususnya pada sapi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambaran Umum
Palpasi
Rectal atau deteksi kebuntingan
merupakan suatu hal yang sangat penting dilakukan setelah ternak dikawinkan.
Secara umum, deteksi kebuntingan dini diperlukan dalam hal mengindentifikasi
ternak yang tidak bunting segera setelah perkawinan atau IB, sehingga waktu
produksi yang hilang karena infertilitas dapat ditekan dengan penanganan yang tepat seperti ternak harus
dijual atau Diculling.
Hal ini bertujuan untuk menekan biaya pada Breeding program
dan membantu manajemen ternak secara ekonomis (Mozez,
2011).
Satu periode kebuntingan adalah periode dari mulai
terjadinya Fertilisasi sampai terjadinya kelahiran normal. Dalam penghidupan
peternak, periode kebuntingan pada umumnya dihitung mulai dari perkawinan yang
terakhir sampai terjadinya kelahiran anak secara normal. Penghitungan umur
kebuntingan oleh pelaksana Inseminasi buatan juga dipakai patokan yang sama seperti patokan para peternak,
yaitu dimulai dari Inseminasi yang terakhir sampai kelahiran. Pada manusia, perhitungan tersebut agak
berlainan; perhitungan dimulai dari saat berakhirnya Menstruasi terakhir sampai saat kelahiran bayi. Berdasarkan
definisi yang tertera diatas yaitu bahwa periode kebuntingan dihitung mulai
dari saat Fertilisasai sampai kelahiran, maka perhitungan-perhitungan
sehari-hari seperti yang dilakukan para peternak atau ibu-ibu yang hamil, tidak
tepat karena agak lebih panjang beberapa jam sampai beberapa hari. Pada manusia
misalnya, terjadinya Fertilisasi kira-kira 14-15 hari setelah menstruasi yang
terakhir; sedangkan pada sapi Fertilisasi terjadi 11-15 jam setelah Inseminasi (Marawali,
2010).
Periode kebuntingan yang normal sangat bervariasi dari
spesies ke Spesies yang lain, begitu pula variasi antar individu dalam suatu Spesies tertentu. Rata-rata periode kebuntingan pada kuda 336
hari atau sekitar 11 bulan; sapi 282 hari atau 9 bulan lebih sedikit; domba 150
hari atau 5 bulan; babi 114 hari atau 3 bulan 3 minggu dan 3 hari; anjing 63
hari atau sekitar 2 bulan. Apabila anak dikandung selama kebuntingan yang
normal, disebut kebuntingan dengan masa yang penuh. Dalam keadaan abnormal
terminasi yang lebih awal dari suatu kebuntingan disebut Abortus atau kelahiran Prematur. Pada ternak, kelahiran Prematur hampir selalu fatal bagi Fetus
(Aswin, 2010).
Firman Allah dalam Al-qur’an surah Al-Baqarah ayat 71 yang berbunyi:
tA$s% ¼çm¯RÎ) ãAqà)t $pk¨XÎ) ×ots)t/ w ×Aqä9s çÏVè? uÚöF{$# wur Å+ó¡s? y^öptø:$# ×pyJ¯=|¡ãB w spuÏ© $ygÏù 4 (#qä9$s% z`»t«ø9$# |M÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ 4 $ydqçtr2xsù $tBur (#rß%x. cqè=yèøÿt ÇÐÊÈ
Terjemahnya:
Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu
adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak
pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." mereka
berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang
sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak
melaksanakan perintah itu.
Maksud ayat
diatas adalah bahwa sapi betina tidak jinak, yakni belum pernah ada yang
menuntun atau membebaninya dengan pekerjaan tertentu, ternak sapi betina hanya bisa melangsungkan kehidupannya melalui proses
perkawinan, Sungguh besar kekuasaan Allah SWT yang telah dia
berikan kepada hambanya untuk menjadikan hamba-hambanya menjadi orang bijaksana
dalam mengambil keputusan.
B. Gambaran Khusus
Kebuntingan berarti keadaan dimana
anak sedang berkembang di dalam Uterus seekor hewan betina. Suatu interval
waktu, yang disebut periode kebuntingan (Gestasi), dimulai dari saat pembuahan (Fertilisasi) Ovum, sampai lahirnya anak. Hal ini
mencakup Fertilisasi, atau persatuan antara Ovum dan Sperma. Nidasi atau Implantasi, atau perkembangan membran Fetus dan berlanjut ke pertumbuhan Fetus (Frandson, 2013).
Pertumbuhan makhluk baru yang
terbentuk sebagai hasil pembuahan Ovum oleh Spermatozoa dapat dibagi menjadi 3 periode,
yaitu: periode Ovum, periode Embrio dan periode Fetus. Periode Ovum adalah periode yang dimulai dari Fertilisasi sampai Implantasi, sedang periode Embrio dimulai dari Implantasi sampai saat dimulainya pembentukan
alat-alat tubuh bagian dalam. Periode ini disambung oleh periode Fetus. Jadi periode Fetus adalah periode yang terakhir;
dimulai dari terbentuknya alat-alat tubuh bagian dalam, terbentuknya Ekstremitas, sampai lahir. Dari sejak Fertilisasi, Implantasi sampai terbentuknya alat-alat tubuh
bagian dalam disebut periode Embrio; selanjutnya periode Fetus. Seluruh penghidupan makhluk baru
dalam Uterus disebut periode Embrio (Partodihardjo, 2011).
Selang empat hari sesudah Ovum dibuahi Zigot melewati tuba Falopi menuju ke Uterus dimana ia bergerak bebas melayang
selama 8-9 hari. Kebuntingan tahap pertama ini disebut periode Ovum. Selama itu Zigot memperoleh makanannya dari bekal
yang dibawa oleh ovum dan menyerap makanan yang berada di Tuba falopi dan Uterus. Zigot berekembang dari sebuah sel menjadi
beberapa sel, sambil sedikit demi sedikit membentuk semacam bola yang berlubang
di dalamnya dan disebut Blastula (Hunter, 2010).
Menurut
Aswin (2010), metode
deteksi kebuntingan ternak yang telah ada saat ini yaitu
sebagai berikut :
1.
Palpasi rektal atau abdomen, yang membutuhkan
tenaga ahli dalam pelaksanaannya dan memiliki kelemahan yang lain yaitu dapat
mengakibatkan kematian pada embrio jika pelaksanaannya tidak tepat.
2.
Hormonal, antara lain dengan pengukuran
kadar Pregesteron dan Estrogen yang ada dalam darah. Metode yang
digunakan dalam pengukuran kadar hormon di atas adalah dengan ELISA dan RIA, yang memiliki akurasi tinggi tetapi memerlukan penanganan
dalam laboratorium yang cukup lama dan mahal. Selain itu metode deteksi kebuntingan
ini menggunakan semacam bahan radioaktif sehingga memiliki resiko yang tinggi
terhadap radiasinya.
Kelenjar hormon yang terlibat dalam fase kebuntingan: Corpus luteum, Plasenta, Folikel, Hipotalamus dan Hipofisa. Kelenjar Endokrin yang lain, misalnya Thyroid, Adrenal dan sebagainya merupakan kelenjar Endokrin yang menunjang ke lima kelenjar
endokrin yang disebutkan terlebih dahulu. Dari ke lima kelenjar endokrin yang
disebut ini, kelenjar Hipotalamus dan kelenjar Hipofisa merupakan kelenjar pengatur, sedang
yang memegang peran utama adalah korpus luteum sebagai penghasil Progesteron, Plasenta sebagai penghasil Progesteron, Estrogen dan Folikel sebagai penghasil Estrogen. Peranan Folikel sebagai penghasil Estrogen pada waktu hewan betina dalam
keadaan bunting hanya jelas pada kuda, sedangkan pada Spesies lain Folikel tidak tumbuh atau hanya sekali-kali
dijumpai pada sapi (Partodihardjo, 2011).
Lama periode kebuntingan untuk tiap Spesies berbeda; perbedaan itu jelas
disebabkan oleh faktor genetik. Jika ada perbedaan panjang antara suatu
kebuntingan individu dalam satu Spesies, maka perbedaan itu minor (sedikit)
dan faktor-faktor penyebabnya belum diketahui. Ada yang menafsirkan disebabkan
oleh faktor genetik, ada pula yang menduga disebabkan oleh faktor sosial atau
lingkungan. Tetapi dugaan tersebut sangat sukar dibuktikan (Partodihardjo, 2011).
Menurut
Ridwan (2010), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan Palpasi rektal, yaitu:
1.
Pemeriksa
memekai pelindung sepatu boot, pakaian praktek lapangan berlengan pendek
- Memakai sarung tangan plastik
3.
Kuku pemeriksa
harus dipotong tumpul, rata, licin dan tidak boleh memakai cincin
- Melakukan pemeriksaan dengan tangan kanan atau kiri sesuai kebiasaan
5.
Waspada
terhadap sepakan (tendangan) kaki sapi yang biasanya terjadi menjelang atau
waktu tangan dimasukkan ke dalam rectum.
- Sarung tanngan plastik harus dilicinkan dengan sabun
7.
Tangan
dimasukkan kedalam rectum dalam bentuk mengerucut dan diteruskan sampai
melampaui organ reproduksi. Apabila feses banyak maka perlu dikeluarkan
terlebih dahulu.
- Rasakan setiap perubahan-perubahan pada organ reproduksi.
Palpasi
rektal merupakan metode yang tertua dan paling luas digunakan sebagai diagnosis
awal kebuntingan ternak perah. Pada spesies hewan domestikasi berukuran besar seperti sapi,
kerbau, kuda dan unta, Palpasi rektal sekalipun
dengan beberapa keterbatasan,
merupakan metode Diagnosis kebuntingan yang paling
mudah, murah dan tercepat dengan sedikit atau bahkan Nihil peluang membahayakan hewan dan fetus
bila dilakukan dengan hati- hati (Ridwan, 2010).
Menurut
Zaenal (2012), ada beberapa cara atau metode yang bisa dilakukan dalam
melakukan Palpasi rektal, yaitu:
1. Pemeriksaan Kebuntingan
a.
Indikasi Luar
Berhentinya
gejala-gejala birahi sesudah IB sudah bisa menandakan adanya kebuntingan, akan
tetapi tidak berarti bahwa seratus persen akan terjadi kebuntingan. Peternak
mungkin lalai atau tidak memperhatikan gejala birahi walaupun tidak terjadi
kebuntingan. Kematian Embrio dini atau Abortus mungkin saja dapat
terjadi. Perubahan-perubahan Patologis dapat terjadi didalam Uerus
seperti Myometra, Sista ovarium bisa menyebabkan kegagalan
birahi.
Penelitian
menunjukkan tidak ada hubungan antara perdarahan setelah IB dengan konsepsi.
Kelenjar susu pada sapi dara berkembang dan membesar mulai kebuntingan 4 bulan.
Pada sapi yang pernah beranak/ sering beranak pembesaran ambing terjadi pada 1
sampai 4 minggu menjelang kelahiran. Ternak betina bertambah tenang, lamban dan
hati-hati dalam pergerakannya sesuia dengan bertambahnya umur kebuntingan. Pada
minggu terakhir kebuntingan ada kecenderungan pertambahan berat badan. Pada
akhir kebuntingan ligamentum pelvis mengendur, terlihat legokan pada pangkal
tulang ekor, Oedema dan relaksasi Vulva. Pada umur kebuntingan 6
bulan keatas gerakan Fetus dapat dipantulkan dari dinding luar perut. Fetus
teraba sebagai benda padat dan besar yang tergantung berayun didalam struktur
lunak perut (Abdomen).
b.
Indikasi Dalam
Palpasi per-rektal terhadap Uterus, Ovarium
dan pembuluh darah Uterus adalah cara Diagnosa kebuntingan yang
paling praktis dan akurat pada sapi dan kerbau. Sebelum Palpasi rektal
perlu diketahui, sejarah perkawinan ternak yang bersangkutan, tanggal
melahirkan terakhir, tanggal dan jumlah perkawinan atau IB, Kejadian-kejadian
penyakit pada ternak tersebut. Catatan reproduksi yang lengkap sangat membantu
dalam menentukan kebuntingan secara cepat dan tepat.
2.
Metode Klinis
Pada Diagnosa Kebuntingan
a.
Eksplarasi
rektal
Eksplorasi rektal adalah metoda diagnosa kebuntingan yang dapat dilakukan pada
ternak besar seperti kuda, kerbau dan sapi. Prosedurnya adalah palpasi uterus
melalui dinding rektum untuk meraba pembesaran yang terjadi selama kebuntingan, Teknik
yang dapat digunakan pada tahap awal kebuntingan ini adalah akurat,
dan hasilnya dapat langsung diketahui. Sempitnya
rongga pelvic pada kambing, domba
dan babi maka Eksplorasi rektal untuk
mengetahui isi uterus tidak dapat dilakukan.
b.
Ultrasonografi
Ultrasonography merupakan alat
yang cukup modern,
dapat digunakan untuk mendeteksi adanya
kebuntingan pada ternak secara
dini. Alat ini menggunakan probe untuk mendeteksi adanya perubahan di dalam rongga
abdomen.Alat ini dapat mendeteksi adanya perubahan bentuk dan ukuran daricornua uteri. Ada resiko kehilangan Embrio pada saat pemeriksaan akibat traumatik pada saat memasukkan Pobe. Pemeriksaan
kebuntingan menggunakan alat Ultrasonografi ini dapat dilakukan pada usia kebuntingan
antara 20 – 22 hari, namun lebih jelas pada usia kebuntingan diatas 30 hari.
c.
Diagnosa Kebuntingan berdasarkan konsentrasi Hormone
Pengukuran hormon-hormon
kebuntingan dalam cairan
tubuh dapat dilakukan dengan metoda RIA dan ELISA.
Metoda-metoda yang menggunakan plasma dan air susu ini, dapat mendiagnosa
kebuntingan pada ternak lebih dini
dibandingkan dengan metoda rektal. Progesteron dapat digunakan sebagai test kebuntingan karena CL hadir selama
awal kebuntingan pada
semua spesies ternak.
Level progesteron dapat
diukur dalam cairan Biologis seperti darah dan
susu , kadarnya menurun
pada hewan yang tidak bunting. Progesteron rendah pada
saat tidak bunting dan tinggi pada hewan yang bunting.
Test pada susu
lebih dianjurkan dari
pada test pada
darah, karena kadar Progesteron lebih tinggi dalam susu daripada dalam plasma darah. Lagi pula
sample susumudah didapat saat memerah tanpa menimbulkan stress pada ternaknya.
Sample susu ditest menggunakan Radio immuno assay (RIA). Sample ini dikoleksi pada hari ke 22 – 24 setelah
inseminasi. Teknik koleksi sample bervariasi namun lebih banyak diambil dari
pemerahan sore hari.
Bahan Preservasi seperti
Potasium dichromate atau Mercuris chloride ditambahkan
untuk menghindari susu
menjadi basi selama
transportasi ke
laboratorium. Metoda ini cukup
akurat, tetapi relatif
mahal, membutuhkan fasilitas laboratorium dan hasilnya harus
menunggu beberapa hari.
Metoda Punyakoti
adalah sebuah metoda pemeriksaan kebuntingan ternak sapi menggunakan Urine
yang pernah dilakukan di sebuah Veterinary college di Bangalore India.
Teknik ini ternyata meniru dokter di Mesir sekitar 4000 tahun lalu, di mana
disebutkan bahwa seorang perempuan yang akan Didiagnosis kehamilannya
diminta untuk kencing di kantong kain yang berisi biji gandum. Perempuan
tersebut Didiagnosis hamil apabila biji gandum dalam kantung yang
dikencingi tumbuh dalam waktu 5 hari dan tidak hamil bila biji gandumnya tidak
tumbuh. Namun untuk ternak sapi hasilnya kebalikan dari manusia, jika biji
gandum tumbuh dalam 5 hari maka ternak tersebut dinyatakan tidak bunting dan
sebaliknya. Uji ini cukup murah, mudah, sederhana, tidak Invasif dari
sudut pandang kesejahteraan hewan dan tidak memerlukan bahan kimia atau alat
yang canggih. Peternak yang ada di daerah terpencil yang akses terhadap dokter hewan
begitu terbatas bisa memanfaatkan uji Punyakoti untuk mendiagnosis
kebuntingan hewan ternaknya.
pada saat birahi Serviks pada ternak bentina akan mnjadi tegang pada saat dipalpasi dan
temparaturnya juga akan menjadi hangat. Serviks atau leher Uterus
mengarah ke Kaudal menuju ke Vagina. Serviks merupakan Sphincer
otot polos yang kuat, dan tertutup rapat, kecuali pada saat terjadi birahi atau
pada saat kelahiran. Pada saat Birahi serviks agak relaks
sehinggga memungkinkan Spermatozoa untuk memasuki Uterus. Pada
saat tersebut bukan tidak mungkin Serviks akan mengeluarkan mukus yang
kemudian mengalir ke Vulva (Yusuf, 2012).
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A.
Waktu dan Tempat
Adapun waktu
dan tempat dilaksanakannya praktikum ini ialah pada hari Kamis, 05 Mei 2016
pukul 15.00-17.00 WITA di pengembangan sapi potong yang dimiliki oleh seorang dosen Prof. Latief
Tolleng yang bertempat Kelurahan Samata, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten
Gowa, Provinsi Sul-Sel.
B. Alat dan Bahan
1.
Alat
Adapun alat yang digunakan pada praktek lapang ini
adalah, alat tulis dan ember.
2.
Bahan
Adapun
bahan yang digunakan pada praktek lapang ini adalah, ternak sapi betina, air, sarung tangan plastik dan sabun.
C. Prosedur kerja
Adapun cara kerja dari praktikum ini adalah sebagai
berikut:
1.
Menyediakan ternak sapi betina yang sedang birahi.
2.
Basahi tangan dengan
air terlebih dahulu sebelum dimasukkan kedalam sarung tangan plastik.
3.
Masukkan tangan
kedalam
sarung tangan plastik dan oleskan dengan sabun.
4.
Masukkan tangan
perlahan-lahan kedalam anus pada sapi betina tersebut.
5.
Temukan serviks tersebut
6.
Catat hasilnya
|
Menyiapkan sapi betina (Birahi)
|
|
Oleskan sarung tangan pada sabun
|
|
Masukkan tangan
|
|
Basahi tangan
|
|
Temukan Cerviks
|
|
Hasilnya
|
Gambar 1. Diagram Alir palpasi
DAFTAR PUSTAKA
Aswin, T. 2010. Dasar-dasar
Reproduksi Ternak. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Frandson, R.D. 2013. Anatomi
dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hunter, R.F. 2010. Fisiologi
dan Anatomi Organ Reproduksi. Jakarta: Penebar Swadaya.
Iqbal. 2010. Sistem
Reproduksi Sapi Betina dan Kelinci.Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Marawali. 2010. Anatomi Organ Reproduksi Sapi Betina.
Jakarta: Erlangga.
Mozez. 2011. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau.
Jakarta: UI Press.
Partodihardjo,
Soebadi. 2011. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta: Penerbit Mutiara.
Widayati,
D.T. 2010. Ilmu Reproduksi Ternak.
Fakultas Peternakan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Yusuf, M.
2012. Buku Ajar Ilmu Reproduksi Ternak.
Makassar: Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.
Zaenal. A. 2012. Reproduksi Betina.
Kasinus: Yogyakarta.