Selasa, 07 Maret 2017

LAPORAN REPRODUKSI TERNAK



LAPORAN PRAKTIKUM
ILMU REPRODUKSI TERNAK
(PALPASI REKTAL)



                                              




Dianjurkan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Melulusi Mata
Kuliah Ilmu Reproduksi Ternak Pada Jurusan Ilmu
Peternakan Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Alauddin
 Makassar



Oleh:



MUH DADANG KURNIAWAN
60700114073






LABORATORIUM ILMU PETERNAKAN
JURUSAN ILMU PETERNAKAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Periode kebuntingan dimulai dengan pembuahan dan berakhir dengan kelahiran anak yang hidup. Peleburan spermatozoa dengan ovum mengawali reaksi kimia dan fisika yang majemuk, bermula dari sebuah sel tunggal, yang mengalami peristiwa pembelahan diri yang berantai dan terus menerus selama hidup individu tersebut tetapi berbeda dalam kadar dan derajatnya sewaktu hewan menjadi dewasa dan menjadi tua. Sesudah pembuahan, yang mengembalikan jumlah kromosom yang sempurna, pembelahan sel selanjutnya bersifat mitotik sehingga anak-anak sel hasil pembelahannya mempunyai kromosom yang sama dengan induk selnya. Peristiwa ini berlangsung sampai hewan menghasilkan sel kelamin (Marawali, 2010).
Pertumbuhan dan perkembangan individu baru selama kebuntingan merupakan hasil dari perbanyakan jumlah sel, pertumbuhan, perubahan susunan serta fungsi sel. Peristiwa tadi mempengaruhi perubahan-perubahan tertentu, beberapa di antaranya merupakan ciri dari tahap perkembangannya. Meskipun perkembangan anak dalam kandungan berlangsung terus menerus, namun kebuntuingan kadang-kadang dinyatakan terdiri dari 3 tahap yaitu periode ovum, periode embrio dan periode Fetus (Marawali, 2010).
Berdasarkan perihal tersebut maka dilakukanlah praktikum ini agar mahasiswa dapat mengetahui bagaimana tata cara dalam melakukan Palpasi rektal atau mendeteksi kebuntingan dengan baik dan benar pada ternak khususnya pada sapi.
B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada praktikum ini adalah bagaimana tata cara dalam melakukan Palpasi rektal atau mendeteksi kebuntingan dengan baik dan benar pada ternak khususnya pada sapi ?
C.    Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui tata cara dalam melakukan Palpasi rektal atau mendeteksi kebuntingan dengan baik dan benar pada ternak khususnya pada sapi.













BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Gambaran Umum
Palpasi Rectal atau deteksi kebuntingan merupakan suatu hal yang sangat penting dilakukan setelah ternak dikawinkan. Secara umum, deteksi kebuntingan dini diperlukan dalam hal mengindentifikasi ternak yang tidak bunting segera setelah perkawinan atau IB, sehingga waktu produksi yang hilang karena infertilitas dapat ditekan dengan  penanganan yang tepat seperti ternak harus dijual atau Diculling. Hal ini bertujuan untuk menekan biaya pada Breeding program dan membantu manajemen ternak secara ekonomis (Mozez, 2011).
Satu periode kebuntingan adalah periode dari mulai terjadinya Fertilisasi sampai terjadinya kelahiran normal. Dalam penghidupan peternak, periode kebuntingan pada umumnya dihitung mulai dari perkawinan yang terakhir sampai terjadinya kelahiran anak secara normal. Penghitungan umur kebuntingan oleh pelaksana Inseminasi buatan juga dipakai patokan yang sama seperti patokan para peternak, yaitu dimulai dari Inseminasi yang terakhir sampai kelahiran. Pada manusia, perhitungan tersebut agak berlainan; perhitungan dimulai dari saat berakhirnya Menstruasi terakhir sampai saat kelahiran bayi. Berdasarkan definisi yang tertera diatas yaitu bahwa periode kebuntingan dihitung mulai dari saat Fertilisasai sampai kelahiran, maka perhitungan-perhitungan sehari-hari seperti yang dilakukan para peternak atau ibu-ibu yang hamil, tidak tepat karena agak lebih panjang beberapa jam sampai beberapa hari. Pada manusia misalnya, terjadinya Fertilisasi kira-kira 14-15 hari setelah menstruasi yang terakhir; sedangkan pada sapi Fertilisasi terjadi 11-15 jam setelah Inseminasi (Marawali, 2010).
Periode kebuntingan yang normal sangat bervariasi dari spesies ke Spesies yang lain, begitu pula variasi antar individu dalam suatu Spesies tertentu. Rata-rata periode kebuntingan pada kuda 336 hari atau sekitar 11 bulan; sapi 282 hari atau 9 bulan lebih sedikit; domba 150 hari atau 5 bulan; babi 114 hari atau 3 bulan 3 minggu dan 3 hari; anjing 63 hari atau sekitar 2 bulan. Apabila anak dikandung selama kebuntingan yang normal, disebut kebuntingan dengan masa yang penuh. Dalam keadaan abnormal terminasi yang lebih awal dari suatu kebuntingan disebut Abortus atau kelahiran Prematur. Pada ternak, kelahiran Prematur hampir selalu fatal bagi Fetus (Aswin, 2010).
Firman Allah dalam Al-qur’an surah Al-Baqarah ayat 71 yang berbunyi:
tA$s% ¼çm¯RÎ) ãAqà)tƒ $pk¨XÎ) ×ots)t/ žw ×Aqä9sŒ 玍ÏVè? uÚöF{$# Ÿwur Å+ó¡s? y^öptø:$# ×pyJ¯=|¡ãB žw spuÏ© $ygÏù 4 (#qä9$s% z`»t«ø9$# |M÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ 4 $ydqçtr2xsù $tBur (#rߊ%x. šcqè=yèøÿtƒ ÇÐÊÈ  


Terjemahnya:
Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.

Maksud ayat diatas adalah bahwa sapi betina tidak jinak, yakni belum pernah ada yang menuntun atau membebaninya dengan pekerjaan tertentu, ternak sapi betina hanya bisa melangsungkan kehidupannya melalui proses perkawinan, Sungguh besar kekuasaan Allah SWT yang telah dia berikan kepada hambanya untuk menjadikan hamba-hambanya menjadi orang bijaksana dalam mengambil keputusan.
B.     Gambaran Khusus
Kebuntingan berarti keadaan dimana anak sedang berkembang di dalam Uterus seekor hewan betina. Suatu interval waktu, yang disebut periode kebuntingan (Gestasi), dimulai dari saat pembuahan (Fertilisasi) Ovum, sampai lahirnya anak. Hal ini mencakup Fertilisasi, atau persatuan antara Ovum dan Sperma. Nidasi atau Implantasi, atau perkembangan membran Fetus dan berlanjut ke pertumbuhan Fetus (Frandson, 2013).
Pertumbuhan makhluk baru yang terbentuk sebagai hasil pembuahan Ovum oleh Spermatozoa dapat dibagi menjadi 3 periode, yaitu: periode Ovum, periode Embrio dan periode Fetus. Periode  Ovum adalah periode yang dimulai dari Fertilisasi sampai Implantasi, sedang periode Embrio dimulai dari Implantasi sampai saat dimulainya pembentukan alat-alat tubuh bagian dalam. Periode ini disambung oleh periode Fetus. Jadi periode Fetus adalah periode yang terakhir; dimulai dari terbentuknya alat-alat tubuh bagian dalam, terbentuknya Ekstremitas, sampai lahir. Dari sejak Fertilisasi, Implantasi sampai terbentuknya alat-alat tubuh bagian dalam disebut periode Embrio; selanjutnya periode Fetus. Seluruh penghidupan makhluk baru dalam Uterus disebut periode Embrio (Partodihardjo, 2011).
Selang empat hari sesudah Ovum dibuahi Zigot melewati tuba Falopi menuju ke Uterus dimana ia bergerak bebas melayang selama 8-9 hari. Kebuntingan tahap pertama ini disebut periode Ovum. Selama itu Zigot memperoleh makanannya dari bekal yang dibawa oleh ovum dan menyerap makanan yang berada di Tuba falopi dan Uterus. Zigot berekembang dari sebuah sel menjadi beberapa sel, sambil sedikit demi sedikit membentuk semacam bola yang berlubang di dalamnya dan disebut Blastula (Hunter, 2010).
Menurut Aswin (2010), metode deteksi kebuntingan ternak yang telah ada saat ini yaitu sebagai berikut :
1.         Palpasi rektal atau abdomen, yang membutuhkan tenaga ahli dalam pelaksanaannya dan memiliki kelemahan yang lain yaitu dapat mengakibatkan kematian pada embrio jika pelaksanaannya tidak tepat.
2.         Hormonal, antara lain dengan pengukuran kadar Pregesteron dan Estrogen yang ada dalam darah. Metode yang digunakan dalam pengukuran kadar hormon di atas adalah dengan ELISA dan RIA, yang memiliki akurasi tinggi tetapi memerlukan penanganan dalam laboratorium yang cukup lama dan mahal. Selain itu metode deteksi kebuntingan ini menggunakan semacam bahan radioaktif sehingga memiliki resiko yang tinggi terhadap radiasinya.
Kelenjar hormon yang terlibat dalam fase kebuntingan: Corpus luteum, Plasenta, Folikel, Hipotalamus dan Hipofisa. Kelenjar Endokrin yang lain, misalnya Thyroid, Adrenal dan sebagainya merupakan kelenjar Endokrin yang menunjang ke lima kelenjar endokrin yang disebutkan terlebih dahulu. Dari ke lima kelenjar endokrin yang disebut ini, kelenjar Hipotalamus dan kelenjar Hipofisa merupakan kelenjar pengatur, sedang yang memegang peran utama adalah korpus luteum sebagai penghasil Progesteron, Plasenta sebagai penghasil Progesteron, Estrogen dan Folikel sebagai penghasil Estrogen. Peranan Folikel sebagai penghasil Estrogen pada waktu hewan betina dalam keadaan bunting hanya jelas pada kuda, sedangkan pada Spesies lain Folikel tidak tumbuh atau hanya sekali-kali dijumpai pada sapi (Partodihardjo, 2011).
Lama periode kebuntingan untuk tiap Spesies berbeda; perbedaan itu jelas disebabkan oleh faktor genetik. Jika ada perbedaan panjang antara suatu kebuntingan individu dalam satu Spesies, maka perbedaan itu minor (sedikit) dan faktor-faktor penyebabnya belum diketahui. Ada yang menafsirkan disebabkan oleh faktor genetik, ada pula yang menduga disebabkan oleh faktor sosial atau lingkungan. Tetapi dugaan tersebut sangat sukar dibuktikan (Partodihardjo, 2011).
Menurut Ridwan (2010), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan Palpasi rektal, yaitu:
1.      Pemeriksa memekai pelindung sepatu boot, pakaian praktek lapangan berlengan pendek
  1. Memakai sarung tangan plastik
3.      Kuku pemeriksa harus dipotong tumpul, rata, licin dan tidak boleh memakai cincin
  1. Melakukan pemeriksaan dengan tangan kanan atau kiri sesuai kebiasaan
5.      Waspada terhadap sepakan (tendangan) kaki sapi yang biasanya terjadi menjelang atau waktu tangan dimasukkan ke dalam rectum.
  1. Sarung tanngan plastik harus dilicinkan dengan sabun
7.      Tangan dimasukkan kedalam rectum dalam bentuk mengerucut dan diteruskan sampai melampaui organ reproduksi. Apabila feses banyak maka perlu dikeluarkan terlebih dahulu.
  1. Rasakan setiap perubahan-perubahan pada organ reproduksi.
Palpasi rektal merupakan metode yang tertua dan paling luas digunakan sebagai diagnosis awal kebuntingan ternak perah. Pada spesies hewan domestikasi berukuran besar seperti sapi, kerbau, kuda dan unta, Palpasi rektal  sekalipun  dengan beberapa keterbatasan,  merupakan metode Diagnosis kebuntingan yang paling mudah, murah dan tercepat dengan sedikit atau bahkan Nihil  peluang membahayakan hewan  dan fetus  bila dilakukan  dengan hati- hati (Ridwan, 2010).
Menurut Zaenal (2012), ada beberapa cara atau metode yang bisa dilakukan dalam melakukan Palpasi rektal, yaitu:
1.      Pemeriksaan Kebuntingan
a.         Indikasi Luar
Berhentinya gejala-gejala birahi sesudah IB sudah bisa menandakan adanya kebuntingan, akan tetapi tidak berarti bahwa seratus persen akan terjadi kebuntingan. Peternak mungkin lalai atau tidak memperhatikan gejala birahi walaupun tidak terjadi kebuntingan. Kematian Embrio dini atau Abortus mungkin saja dapat terjadi. Perubahan-perubahan Patologis dapat terjadi didalam Uerus seperti Myometra, Sista ovarium bisa menyebabkan kegagalan birahi.
Penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara perdarahan setelah IB dengan konsepsi. Kelenjar susu pada sapi dara berkembang dan membesar mulai kebuntingan 4 bulan. Pada sapi yang pernah beranak/ sering beranak pembesaran ambing terjadi pada 1 sampai 4 minggu menjelang kelahiran. Ternak betina bertambah tenang, lamban dan hati-hati dalam pergerakannya sesuia dengan bertambahnya umur kebuntingan. Pada minggu terakhir kebuntingan ada kecenderungan pertambahan berat badan. Pada akhir kebuntingan ligamentum pelvis mengendur, terlihat legokan pada pangkal tulang ekor, Oedema dan relaksasi Vulva. Pada umur kebuntingan 6 bulan keatas gerakan Fetus dapat dipantulkan dari dinding luar perut. Fetus teraba sebagai benda padat dan besar yang tergantung berayun didalam struktur lunak perut (Abdomen).
b.        Indikasi Dalam
Palpasi per-rektal terhadap Uterus, Ovarium dan pembuluh darah Uterus adalah cara Diagnosa kebuntingan yang paling praktis dan akurat pada sapi dan kerbau. Sebelum Palpasi rektal perlu diketahui, sejarah perkawinan ternak yang bersangkutan, tanggal melahirkan terakhir, tanggal dan jumlah perkawinan atau IB, Kejadian-kejadian penyakit pada ternak tersebut. Catatan reproduksi yang lengkap sangat membantu dalam menentukan kebuntingan secara cepat dan tepat.



2.      Metode Klinis Pada Diagnosa Kebuntingan
a.         Eksplarasi rektal
Eksplorasi rektal adalah metoda diagnosa kebuntingan yang dapat dilakukan pada ternak besar seperti kuda, kerbau dan sapi. Prosedurnya adalah palpasi uterus melalui dinding rektum untuk meraba pembesaran yang terjadi selama kebuntingan, Teknik yang dapat digunakan pada tahap awal kebuntingan ini adalah  akurat,  dan hasilnya  dapat  langsung diketahui.  Sempitnya  rongga pelvic  pada kambing, domba dan babi maka Eksplorasi rektal untuk mengetahui isi uterus tidak dapat dilakukan.
b.        Ultrasonografi
Ultrasonography  merupakan  alat  yang  cukup  modern,  dapat  digunakan  untuk mendeteksi  adanya  kebuntingan pada  ternak  secara  dini. Alat ini  menggunakan probe untuk mendeteksi adanya perubahan di dalam rongga abdomen.Alat ini dapat mendeteksi adanya perubahan bentuk dan ukuran daricornua uteri. Ada resiko kehilangan Embrio pada saat pemeriksaan akibat traumatik pada saat memasukkan  Pobe. Pemeriksaan  kebuntingan  menggunakan  alat  Ultrasonografi  ini dapat dilakukan pada usia kebuntingan antara 20 – 22 hari, namun lebih jelas pada usia kebuntingan diatas 30 hari.
c.           Diagnosa Kebuntingan berdasarkan konsentrasi Hormone
Pengukuran  hormon-hormon  kebuntingan  dalam  cairan  tubuh  dapat  dilakukan dengan metoda RIA dan ELISA. Metoda-metoda yang menggunakan plasma dan air susu ini, dapat mendiagnosa kebuntingan pada  ternak lebih dini dibandingkan dengan metoda rektal. Progesteron dapat digunakan sebagai test kebuntingan karena CL hadir selama awal  kebuntingan  pada  semua  spesies  ternak.  Level  progesteron dapat diukur  dalam cairan  Biologis  seperti  darah dan  susu ,  kadarnya  menurun  pada hewan  yang  tidak bunting. Progesteron rendah pada saat tidak bunting dan tinggi pada hewan yang bunting. Test  pada  susu  lebih  dianjurkan  dari  pada  test  pada  darah,  karena  kadar Progesteron lebih tinggi dalam susu daripada dalam plasma darah. Lagi pula sample susumudah didapat saat memerah tanpa menimbulkan stress pada ternaknya. Sample susu ditest menggunakan Radio immuno assay (RIA). Sample ini dikoleksi pada hari ke 22 – 24 setelah inseminasi. Teknik koleksi sample bervariasi namun lebih banyak diambil dari pemerahan  sore  hari.  Bahan  Preservasi  seperti  Potasium dichromate  atau  Mercuris chloride  ditambahkan  untuk  menghindari  susu  menjadi  basi  selama  transportasi  ke laboratorium.  Metoda  ini cukup  akurat,  tetapi  relatif  mahal,  membutuhkan  fasilitas laboratorium dan hasilnya harus menunggu beberapa hari.
d.        Metoda Punyakoti 
Metoda Punyakoti adalah sebuah metoda pemeriksaan kebuntingan ternak sapi menggunakan Urine yang pernah dilakukan di sebuah Veterinary college di Bangalore India. Teknik ini ternyata meniru dokter di Mesir sekitar 4000 tahun lalu, di mana disebutkan bahwa seorang perempuan yang akan Didiagnosis kehamilannya diminta untuk kencing di kantong kain yang berisi biji gandum. Perempuan tersebut Didiagnosis hamil apabila biji gandum dalam kantung yang dikencingi tumbuh dalam waktu 5 hari dan tidak hamil bila biji gandumnya tidak tumbuh. Namun untuk ternak sapi hasilnya kebalikan dari manusia, jika biji gandum tumbuh dalam 5 hari maka ternak tersebut dinyatakan tidak bunting dan sebaliknya. Uji ini cukup murah, mudah, sederhana, tidak Invasif dari sudut pandang kesejahteraan hewan dan tidak memerlukan bahan kimia atau alat yang canggih. Peternak yang ada di daerah terpencil yang akses terhadap dokter hewan begitu terbatas bisa memanfaatkan uji Punyakoti untuk mendiagnosis kebuntingan hewan ternaknya.
pada saat birahi Serviks pada ternak bentina akan mnjadi tegang pada saat dipalpasi dan temparaturnya juga akan menjadi hangat. Serviks atau leher Uterus mengarah ke Kaudal menuju ke Vagina. Serviks merupakan Sphincer otot polos yang kuat, dan tertutup rapat, kecuali pada saat terjadi birahi atau pada saat kelahiran. Pada saat Birahi serviks agak relaks sehinggga memungkinkan Spermatozoa untuk memasuki Uterus. Pada saat tersebut bukan tidak mungkin Serviks akan mengeluarkan mukus yang kemudian mengalir ke Vulva (Yusuf, 2012).







BAB III
METODE PRAKTIKUM


A.    Waktu dan Tempat
Adapun waktu dan tempat dilaksanakannya praktikum ini ialah pada hari Kamis, 05 Mei 2016 pukul 15.00-17.00 WITA di pengembangan sapi potong yang dimiliki oleh seorang dosen Prof. Latief Tolleng yang bertempat Kelurahan Samata, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa,  Provinsi Sul-Sel.
B.     Alat dan Bahan
1.    Alat
Adapun alat yang digunakan pada praktek lapang ini adalah, alat tulis dan ember.
2.    Bahan
              Adapun bahan yang digunakan pada praktek lapang ini adalah, ternak sapi betina, air, sarung tangan plastik dan sabun.
C.    Prosedur kerja
Adapun cara kerja dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1.         Menyediakan ternak sapi betina yang sedang birahi.
2.         Basahi tangan dengan air terlebih dahulu sebelum dimasukkan kedalam sarung tangan plastik.
3.         Masukkan tangan kedalam sarung tangan plastik dan oleskan dengan sabun.
4.         Masukkan tangan perlahan-lahan kedalam anus pada sapi betina tersebut.
5.         Temukan serviks tersebut
6.         Catat hasilnya
Menyiapkan sapi betina (Birahi)
Oleskan sarung tangan pada sabun
Masukkan tangan
Basahi tangan
Temukan Cerviks
Hasilnya
 















Gambar 1. Diagram Alir palpasi







DAFTAR PUSTAKA



Aswin, T. 2010. Dasar-dasar Reproduksi Ternak. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Frandson, R.D. 2013. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hunter, R.F. 2010. Fisiologi dan Anatomi Organ Reproduksi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Iqbal. 2010. Sistem Reproduksi Sapi Betina dan Kelinci.Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Marawali. 2010. Anatomi Organ Reproduksi Sapi Betina. Jakarta: Erlangga.

Mozez. 2011. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Jakarta: UI  Press.

Partodihardjo, Soebadi. 2011. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta: Penerbit Mutiara.

Widayati, D.T. 2010. Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Yusuf, M. 2012. Buku Ajar Ilmu Reproduksi Ternak. Makassar: Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.
Zaenal. A. 2012.  Reproduksi Betina.  Kasinus: Yogyakarta.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar