SEJARAH NABI MUHAMMAD
A. Kota Mekkah
Mekkah pada
zaman kuno terletak di garis lalu lintas perdagangan antara yaman (Arabia
selatan) dan syam dekat lautan tengah. Kedua Negara ini zaman dahulu telah
mencapai peradaban yang tinggi dan dihubungkan oleh beberapa negara-negara
kecil antara lain mekkah. Dipandang dari segi geografis, kota mekah hamper terletak
ditengah-tengah jazirah Arabia. Oleh karna itu kabilah-kabilah arab dari segala
penjuru tidaklah terlalu sulit mencapai mekah, seperti halnya juga penduduk
kota mekah, tidaklah amat sukar bagi mereka bepergian ke negeri-negeri
tetangganya seperti ke Syam, Hirah dan Yaman. Tidaklah mengherankan, bilamana
semangat dagang berkembang dikalangan penduduk mekah.
Dalam kota mekah
itu terdapat rumah suci yang disebut Baitullah atau ka’bah. Bangsa arab pada
umumnya memuliakan tempat suci ini. Pembangunan Baitullah ini menurut sejarah
islam dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s. bersama puteranya Ismail a.s. Ismail
a.s. kemudian kawin dengan penduduk mekah dari suku jurhum yang berasal dari
yaman dan terus menetap di kota ini turun temurun. Keturunan Nabi Ismail ini
disebut Banu Ismail atau Adnaniyyun.
Pada waktu
bendungan besar di Ma’rib di Arabia selatan pecah dan menimbulkan malapetaka
yang besar pada penduduknya, maka kabilah-kabilah Arab selatan ini
berbondong-bondong meninggalkan daerahnya menuju ke arah Utara. Diantara mereka
satu rombongan yang dipimpin oleh Harits bin ‘Amir yang bergelar khuza’ah
berpindah menuju mekah; mereka berhasil mengalahkan penduduk mekah (suku
jurhum) dan seterusnya menjadi penguasa atas negeri ini turun temurun.
Dalam masa
pemerintahan khuza’ah inilah Banu Ismail berkembang biak dan dengan berangsur-angsur
mereka meninggalkan negeri ini bertebaran ke pelosok-pelosok jazirah Arab.
Hanya yang tinggal di kota ini dari Banu Ismail ialah suku Quraisy. Mereka sama
sekali tak punya kekuasaan atas kota mekah ini dan juga atas ka’bah.
Kira-kira abad
ke 5 M. seorang pemimpin kabilah Quarisy yang bernama Qushai telah berhasil
merebut kekuasaan kota mekah dari tangan kaum khuza’ah, setelah mereka
berabad-abad lamanya menguasai kota mekah.kekuasaan yang direbutnya itu
meliputi bidang pemerintahan dan keagamaan. Dengan demikian Qushai menjadi
pemimpin agama dan pemerintahan kota mekah.
Di bidang
pemerintahan qushai meletakkan dasar-dasar demokrasi. Dia membagi-bagi kekuasaan antara pemimpin qurqisy. Untuk
tempat bermusyarawah para pemimpin itu dibangunnya balai permusyawaratan yang
mereka namakan “daarunnadwah”. Ditempat inilah mereka membahas dan memecahkan
segala persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat. Ketua dari balai ini
adalah qushai sendiri. Kekuasaan dan kepemimpinan qushai atas kota mekkah ini
mendapat dukungan dari segenap kabilah-kabilah arab.
Pada masa-masa
selanjutnya, nampaklah pertumbuhan kota mekkah dengan organisasinya yang
sederhana itu, lebih-lebih sesudah kerajaan himyariah di Arabia selatan mulai
runtuh kira-kira pada permulaan abad ke-6 M. kesadaran bahwa kepentingan kota
harus lebih diutamakan dari kepentingan suku sendiri, sudah pula tumbuh pada
penduduk mekah. Segala sengketa antara mereka selalu dapat diselesaikan secara
damai. Mereka menghindari terjadinya pertumpahan darah di daerah kota mekkah,
karena hal itu berarti menodai kesucian kota itu yang sudah menjadi kepercayaan
sejak berabad-abad lamanya. Selain daripada itu merekapun sangat berkepentingan
akan ketentraman kota mekah. Setiap tahun pada bulan-bulan haji bangsa arab
dari segala penjuru, dating berkunjung ke mekah sebagai suatu kewajiban agama.
Tidak sedikit keuntungan penduduk mekah dari hasil kunjungan keagamaan ini.
kunjungan itu berjalan lancer bilamana keadaan kota mekah itu selalu aman dan
tentram serta kesuciannya senantiasa terpelihara. Kaum quraisylah yang diberi
kepercayaan oleh bangsa arab untuk menjaga kesucian dan keamanan kota mekah
ini.
B. Kelahiran Nabi Muhammad
Di kala umat
manusia dalam kegelapan dan kehilangan pegangan hidupnya, lahirlah ke dunia
dari keluarga yang sederhana, di kota mekah, seorang bayi yang kelak membawa
perubahan besar bagi sejarah peradaban dunia. Bayi itu yatim,bapaknya yang
bernama Abdullah meninggal ± 7 bulan sebelum dia lahir. kehadiran bayi itu
disambut oleh kakeknya Abdul Muththalib dengan penuh kasih saying dan kemudian
bayi itu dibawanya ke kaki ka’bah. Di tempat suci inilah bayi itu diberi nama
Muhammad suatu nama yang belum pernah ada sebelumnya. Menurut penanggalan para
ahli, kelahiran Muhammad itu pada tanggal 12 Rabiulawal tahun gajah atau
tanggal 20 April tahun 571 M.
Adapun sebab
dinamakan tahun kelahiran Nabi itu dengan tahun Gajah, Karena pada tahun itu,
kota mekah diserang oleh suatu pasukan tentara orang Nasrani yang kuat di bawah
pimpinan Abrahah, gubernur dari kerajaan Nasrani Abessinia yang memerintah di
yaman, dan mereka bermaksud menghancurkan ka’bah. Pada waktu itu Abrahah
berkendaraan gajah. Belum lagi maksud mereka tercapai, mereka sudah dihancurkan
oleh Allah s.w.t. dengan mengirimkan burung ababil. Oleh karena pasukan itu
mempergunakan gajah, maka orang arab menamakan bala tentara itu pasukan
bergajah, sedang tahun terjadinya peristiwa ini disebut tahun gajah.
Nabi Muhammad
s.a.w. adalah keturunan dari Qushai pahlawan suku Quraisy yang berhasil
menggulingkan kekuasaan khuaz’ah atas kota mekah. Ayahnya bernama Abdullah bin
Abdul muththalib bin Hasyim bin Abdumanaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah dari
golongan Arab Banu Ismail. Ibunya bernama Aminah binti Wahab bin Abdumanaf bin
Zuhrah bin Kilab bin Murrah, di sinilah silsilah keturunan ayah dan ibu Nabi
Muhammad s.a.w. bertemu. Baik keluarga dari pihak bapak maupun dari ibu
keduanya termasuk golongan bangsawan dan terhormat dalam kalangan
kabilah-kabilah arab.
Sudah menjadi
kebiasaan pada orang-orang arab kota Mekah, terutama pada orang-orang yang
tergolong bangsawan, menyusukan dan menitipkan bayi-bayi mereka kepada wanita
badiyah (dusun di padang pasir) agar bayi-bayi itu dapat menghirup hawa yang
bersih, terhindar dari penyakit-penyakit kota dan supaya bayi-bayi itu dapat
berbicara dengan bahasa yang murni dan fasih. Demikian halnya Nabi Muhammad
s.a.w. beliau diserahkan oleh ibunya kepada seorang perempuan yang baik,
Halimah Sa’diyah dari Bani Sa’ad kabilah Hawazin, tempatnya tidak jauh dari
kota Mekah. Di perkampungan Bani Sa’ad inilah Nabi Muhammad s.a.w. diasuh dan
dibesarkan sampai berusia lima tahun
C. Kematian Ibu dan Kakek Nabi Muhammad
Sesudah berusia
lima tahun, Muhammad s.a.w. diantarkannya ke Mekah kembali kepada ibunya, Sitti
Aminah. Setahun kemudian, yaitu sesudah ia berusia kira-kira enam tahun, beliau
dibawa oleh ibunya ke Madinah, bersama-sama dengan Ummu Aiman, sahaya
peninggalan ayahnya. Maksud membawa Nabi ke Madinah, pertama untuk
memperkenalkannya kepada keluarga neneknya Bani Najjar dan kedua untuk
menziarahi makam ayahnya. Maka di situ diperlihatkan kepadanya rumah tempat
ayahnya dirawat di waktu sakit sampai meninggal, dan pusara tempat ayahnya
dimakamkan. Agaknya mengharukan juga cerita Aminah kepada anaknya tentang
ayahnya itu, demikian terharunya, sehingga sampai sesudah ia diangkat menjadi
Rasul dan sesudah ia berhijrah ke Madinah, peristiwa itu sering
disebut-sebutnya.
Mereka tinggal
di situ kira-kira satu bulan, kemudian pulang kembali ke Mekah. Dalam
perjalanan mereka pulang, pada suatu tempat, Abwa’ namanya tiba-tiba Aminah
jatuh sakit sehingga meninggal dan dimakamkan di situ juga. (Abwa’ ialah nama
sebuah desa yang terletak antara Madinah dan Juhfah,kira-kira sejauh 23 mil di
sebelah kota Madinah).
Dapatlah
dibayangkan betapa sedih dan bingungnya Muhammad s.a.w. menghadapi bencana
kemalangan atas kematian ibunya itu. Baru beberapa hari saja ia mendengar
ceritera ibunya atas kematian ayahnya yang telah meninggalkannya selagi
Muhammad s.a.w. dalam kandungan, sekarang ibunya telah meninggal pula di
hadapan matanya sendiri, sehingga ia sudah tinggal sebatangkara, menjadi
seorang yatim-piatu, tiada berayah dan tiada beribu.
Setelah selesai
pemakaman ibundanya, Nabi Muhammad s.a.w.segera meninggalkan kampong Abwa’
kembali ke Mekah dan tinggal bersama-sama dengan kakeknya Abdul Muththalib.
Di sinilah Nabi
Muhammad s.a.w.diasuh sendiri oleh kakeknya dengan penuh kecintaan. Usia Abdul
Muththalib pada waktu itu mendekati 80 tahun. Dia adalah seorang pemuka Quraisy
yang disegani dan dihormati oleh segenap kaum Quraisy pada umumnya, dan
penduduk kota Mekah pada khususnya. Demikian penghormatan bagi kedudukannya
yang tinggi dan mulia itu, sampai anak-anaknya sendiri tidak ada yang berani
menndahului menduduki tikar yang disediakan khusus baginya di sisi ka’bah.
Disebabkan kasih
saying kakeknya, Abdul Muththalib, Muhammad s.a.w. dapat hiburan dan dapat
melupakan kemalangan nasibnya karena kematian ibunya. Tetapi, keadaan ini tidak
lama berjalan, sebab baru saja berselang dua tahun ia merasa terhibur di bawah
asuhan kakeknya, orang tua yang baik hati itu meninggal pula, dalam usia
delapan puluh tahun. Muhammad s.a.w. ketika itu baru berusia delapan tahun.
Meninggalnya
Abdul Muththalib itu, bukan saja merupakan kemalangan besar bagi Muhammad
s.a.w. tetapi juga merupakan kemalangan dan kerugian bagi segenap penduduk
Mekah. Dengan meninggalnya Abdul Muththalib itu, penduduk Mekah kehilangan
seorang pembesar dan pemimpin yang cerdas, bijaksana, berani dan perwira yang
tidak mudah mencari gantinya.
Sesuai dengan
wasiat Abdul Muththalib, maka Nabi Muhammad s.a.w. diasuh oleh pamannya Abu
Thalib. Kesungguhan dia mengasuh Nabi serta kasih sayang yang dicurahkan kepada
keponakannya ini tidaklah kurang dari apa yang diberikannya kepada anaknya
sendiri. Selama dalam asuhan kakek dan pamannya, Nabi Muhammad s.a.w.
menunjukkan sikap yang terpuji dan selalu membantu meringankan kehidupan
mereka.
D. Pengalaman-Pengalaman Penting Nabi
Muhammad
Ketika berumur 12 tahun, Nabi
Muhammad s.a.w. mengikuti pamannya Abu Thalib membawa barang dagangan ke syam.
Sebelum mencapai kota syam, baru sampai ke bushra, bertemulah kafilah Abu
Thalib dengan seorang pendeta Nasrani yang alim, ‘”Buhaira” namanya. Pendeta
itu melihat ada tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad s.a.w. maka
dinasihatilah Abu Thalib agar segera membawa keponakannya itu pulang ke Mekah,
sebab dia khawatir kalau-kalau Muhammad s.a.w. ditemukan oleh orang yahudi yang
pasti akan menganiayanya. Abu Thalib segera menyelesaikan dagangannya dan
kembali ke Mekah.
Nabi Muhammad s.a.w., sebagaimana
biasanya pada masa kanak-kanak itu, dia kembali kepekerjaannya menggembala
kambing, kambing keluarga dan kambing penduduk Mekah yang lain yang
dipercayakan kepadanya. Pekerjaan mengembala kambing ini membuahkan didikan
yang amat baik pada diri Nabi, karena pekerjaan ini memerlukan keuletan,
kesabaran dan ketenangan serta ketrampilan dalam tindakan.
Di waktu Nabi Muhammad s.a.w.
berumur ± 15 tahun terjadilah peristiwa yang bersejarah bagi penduduk Mekah,
yaitu kejadian peperangan antara suku Quraisy dan kinanah di satu pihak, dengan
suku Qais’Ailan di lain pihak. Nabi Muhammad s.a.w. ikut aktif dalam peperangan
ini memberikan bantuan kepada paman-pamannya dengan menyediakan keperluan
peperangan.
Peperangan ini terjadi di daerah
suci pada bulan-bulan suci pula yaitu pada bulan Zulqaedah. Menurut pandangan
bangsa arab peristiwa itu adalah pelanggaran terhadap kesucian, karena
melanggar kesucian bulan Zulqaedah, sebenarnya di larang berkelahi, berperang
menumpahkan darah. Oleh karena demikian, perang disebut dinamakan Harbul Fijar
yang artinya perang yang memecahkan kesucian.
Semenjak wafatnya Abdul Muththalib,
kota Mekah mengalami kemerosotan. Ketertiban kota Mekah tidak terjaga. Keamanan
harta benda, diri pribadi tidak dapat jaminan. Orang-orang asing menderita
segala macam pemerasan terang-terangan. Kadang-kadang mereka dirampok, bukan
saja barang dan harta bendanya, akan tetapi juga isteri dan anak perempuannya.
Perbuatan-perbuatan yang demikian membawa suasana Mekah kacau dan genting. Jika
hal itu dibiarkan berlarut-larut akan merugikan penduduk Mekah sendiri
(Quraisy). Akhirnya timbullah keinsyafan di kalangan pemimpin-pemimpin Quraisy
untuk memulihkan kembali ketertiban kota Mekah itu. Maka berkumpullah
pemuka-pemuka dari Bani Hasyim, Bani muththalib, Bani Asad bin’Uzza, Bani
Zuhrah bin kilab dan Bani Tamim bin murrah. Dalam pertemuan ini pemimpin
Quraisy mengikat sumpah, bahwa tidak seorangpun yang akan teraniaya lagi dikota
Mekah baik oleh penduduknya sendiri ataupun orang lain. Barangsiapa yang
teraniaya, dia harus di bela bersama-sama. Demikianlah isi dari sumpah itu yang
dalam sejarah disebut Halfulfudhul. Nabi Muhammad s.a.w. sendiri mengatakan
sesudah menjadi rasul bahwa dia menyaksikan pertemuan paman-paman beliau itu di
rumah Abdullah bin Juda’an, di waktu berusia belasan tahun.
Hasil pertemuan pemuka-pemuka
Quraisy itu membawa perobahan yang baik bagi kota Mekah, hingga kota ini
kembali aman dan selanjutnya memegang peranan penting dalam sejarah
perkembangan bangsa arab.
Meningkat masa dewasa, Nabi
Muhammad s.a.w. mulai berusaha sendiri
dalam penghidupannya. Karena dia terkenal orang yang jujur, maka seorang janda
kaya bernama Siti Khadijah mempercayai beliau untuk membawa barang dagangan ke
syam. Dalam perjalanan ke syam beliau di temani oleh seorang pembantu Siti Khadijah yang bernama Maisarah. Setelah
selesai menjual belikan barang dagangan di syam, dengan memperoleh laba yang
tidak sedikit, merekapun kembali ke Mekah.
Sesudah Nabi Muhammad s.a.w. pulang
dari perjalanan ke syam itu, datanglah lamaran dari pihak siti Khadijah kepada
beliau, lalu beliau menyampaikan hal itu kepada pamannya. Setelah tercapai kata
sepakat pernikahanpun di langsungkan, pada waktu itu umur Nabi ±25 tahun sedang
Sitti Khadijah ±40 tahun.
Perkawinan ini telah memberi
Muhammad s.a.w. ketenangan dan ketenteraman. Muhammad s.a.w. memperoleh cinta
kasih yang tulus dari seorang perempuan yang kemudian hari merupakan orang yang
pertama-tama mengakui kerasulannya, dan senantiasa siap sedia menyertai dia
dalam segala penderitaan dan kesusahan dengan pengorbanan harta sekalipun.
Nama Nabi Muhammad s.a.w. bertambah
populer di kalangan penduduk Mekah, sesudah beliau mendamaikan pemuka-pemuka
Quraisy dalam sengketa mereka memperbaharui bentuk ka’bah. Pada permulaannya
mereka Nampak bersatu dan bergotong
royong mengerjakan pembaharuan ka’bah itu. Tetapi ketika sampai kepada peletakan
Batu hitam (Al Hajarul Aswad) ke tempat asalnya, terjadilah perselisihan sengit
antara pemuka-pemuka Quraisy. Mereka masing-masing merasa berhak untuk
mengembalikan batu suci itu ke tempat asalnya semula. Akhirnya disepakati yang
akan menjadi hakim adalah orang yang pertama datang dan pada saat yang kritis
ini, datanglah Muhammad s.a.w. yang di sambut dan segera disetujui mereka, maka
diambilnyalah sehelai kain, lalu dihamparkannya dan Al Hajarul Aswad
diletakkannya di tengah-tengah kain itu. Kemudian disuruhnya tiap-tiap pemuka
golongan Quraisy bersama-sama mengangkat tepi kain ke tempat asal Al Hajarul
Aswad itu. Ketika sampai ke tempatnya, maka batu hitam itu diletakkan dengan
tangannya sendiri ke tempatnya.
Dengan demikian selesailah
persengketaan itu dengan membawa kepuasan pada masing-masing golongan. Pada
waktu kejadian ini usia Nabi sudah 35 tahun dan dikenal dengan nama “Al-Amin”
yang dipercaya.
E. Akhlak Nabi Muhammad s.a.w dari Masa
Kanak-Kanak hingga Dewasa
Dalam perjalanan hidupnya sejak
masih kanak-kanak hingga dewasa dan sampai diangkat menjadi rasul, beliau
terkenal sebagai seorang yang jujur, berbudi luhur dan mempunyai kepribadian
yang tinggi. Tak ada sesuatu perbuatan dan tingkah lakunya yang tercela yang
dapat dituduhkan kepadanya, berlainan sekali dengan tingkah laku dan perbuatan
kebanyakan pemuda-pemuda dan penduduk kota Mekah pada umumnya yang gemar
berfoya-foya dan bermabuk-mabukan. Karena demikian jujurlah dalam perkataan dan
perbuatan, maka beliau diberi julukan “Al-Amin”, artinya: orang yang dapat
dipercayai.
Ahli sejarah menuturkan, bahwa
Muhammad s.a.w. sejak kecil hingga dewasa tidak pernah menyembah berhala, dan
tidak pernah pula makan daging hewan yang disembelih untuk korban
berhala-berhala seperti lazimnya orang arab jahiliyah pada waktu itu. Ia sangat
benci kepada berhala itu dan menjauhkan diri dari keramaian dan upacara-upacara
pemujaan kepada berhala itu.
Untuk mencukupi keperluan hidupnya
sehari-hari, dia berusaha sendiri mencari nafkah, karena orang tuanya tidak
meninggalkan harta warisan yang cukup. Sesudah dia menikah dengan Sitti
Khadijah, dia berdagang bersama dengan isterinya dan kadang-kadang berdagang
pula dengan orang lain.
Sebagai seorang manusia yang bakal
menjadi pemimbing umat manusia, Muhammad s.a.w. memiliki bakat-bakat dan
kemampuan jiwa besar, kecerdasan pikirannya, ketajaman otaknya, kehalusan
perasaannya, kekuataan ingatannya kecepatan tanggapannya, kekerasaan
kemauannya. Segala pengalaman hidupnya, mendapat pengolahan yang sempurna dalam
jiwanya. Dia mengetahui babak-babak sejarah negerinya, kesedihan masyarakat dan
keruntuhan agama bangsanya. Pemandangan itu tidak dapat hilang dari pikirannya.
Dia mulai “menyiapkan dirinya” (bertahannuts)
untuk mendapatkan pemusatan jiwa yang lebih sempurna. Untuk bertahannuts ini
dipilihnya tempat di sebuah gua kecil yang bernama “Hira” yang terletak pada
sebuah bukit yang bernama “Jabar Nur” (bukit cahaya) yang teletak kira-kira dua
atau tiga mil sebelah utara kota Mekah.
Walaupun Muhammad s.a.w. dengan daya
pikirannya yang jernih itu berusaha merenungkan tentang pencipta alam raya ini,
namun sebelum kenabiannya dia tidaklah sampai kepada hakikat penciptanya,
sebagaimana diisyaratkan oleh Allah s.w.t. dalam Al-Qur’an surat (42) As
Syuuraa’ayat 52
F.
Muhammad
Menjadi Rasul
Ketika menginjak usia empat puluh
tahun, Muhammad s.a.w. lebih banyak mengerjakan tahannuts dari waktu-waktu
sebelumnya. Pada bulan ramadhan dibawanya perbekalan lebih banyak dari
biasanya, karena akan ber-tahannuts lebih lama dari waktu-waktu sebelumnya.
Dalam melakukan tahannuts kadang-kadang beliau bermimpi, mimpi yang benar.
(Arru’ yaa ashshaadiqah).
Pada malam 17 ramadhan, bertepatan
dengan 6 agustus tahun 610 masehi, di waktu Nabi Muhammad s.a.w. sedang
bertahannuts di gua hira, datanglah Malaikat jibril a.s. membawa wahyu dan
menyuruh Muhammad s.a.w. untuk membacanya, katanya : “bacalah”. Dengan
terperanjat Muhammad s.a.w. menjawab: “Aku tidak dapat membaca.” Beliau lalu
direngkuh beberapa kali oleh malaikat jibril a.s., hingga nafasnya sesak, lalu
dilepaskan olehnya seraya disuruhnya membaca sekali lagi: “bacalah”. Tetapi
Muhammad s.a.w. masih tetap menjawab: ”aku tidak dapat membaca.” Begitulah
keadaan berulang sampai tiga kali, dan akhirnya Muhammad s.a.w. berkata: “Apa
yang kubaca”, kata Jibril:
Inilah wahyu yang pertama yang
diturunkan oleh Allah s.w.t. kepada nabi Muhammad s.a.w. dan inilah pula saat
penobatan beliau sebagai Rasulullah, atau utusan Allah s.w.t. kepada seluruh
umat manusia, untuk menyampaikan risalahnya.
Pada saat menerima pengangkatan
menjadi rasul ini, umur beliau mencapai 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut tahun
bulan (qamariyah) atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut tahun matahari
(syamsiah).
Setelah menerima wahyu itu beliau
terus pulang ke rumah dalam keadaan gemetar, sehingga minta diselimuti oleh
isterinya, Sitti Khadijah.
Isteri yang patuh dan setia itu
segera menyelimutinya. Setelah agak reda cemasnya, maka di ceritakannya kepada
isterinya segala yang terjadi atas dirinya dengan perasaan cemas dan khawatir.
Tetapi isteri yang bijaksana itu sedikitpun tidak memperlihatkan kekhawatiran dan
kecemasan hatinya bahkan dengan khidmat
ia menatap muka suaminya, seraya berkata: “bergembiralah hai anak pamanku,
tetapkanlah hatimu, demi tuhan yang jiwa khadijah di dalam tangannya, saya
harap engkaulah yang akan menjadi Nabi bagi umat kita ini. allah tidak akan
mengecewakan engkau, bukankah engkau yang senantiasa berkata benar yang selalu
menumbuhkan tali silaturrahim, bukankah engkau yabg senantiasa menolong anak
yatim, memuliakan tetamu dan menolong setiap orang yang ditimpah kemalangan dan
kesengsaraan?” demikianlah Sitti Khadijah menenteramkan hati suaminya.
Karena terlampau lelah setelah
mengalami peristiwa besar yang baru saja terjadi itu, maka beliau pun tertidur.
Sementara itu Sitti Khadijah pergi ke rumah anak pamannya Waraqah bin Naufal,
seorang yang tidak menyembah berhala, telah lama memeluk agama Nasrani dan
dapat menulis dengan bahasa Ibrany, telah mempelajari serta menyalin ke bahasa
arab isi kitab injil dan taurat, usianya sudah lanjut dan matanya sudah buta,
lalu di ceritakannya oleh Sitti Khadijah, apa yang terjadi atas diri suaminya.
Setelah didengarnya cerita Khadijah
itu lalu ia berkata: “Quddus, quddus, demi tuhan yang jiwa waraqah di dalam
tangannya, jika engkau membenarkan aku, ya khadijah, sesungguhnya telah datang
kepadanya (muhammad) namus akbar (petunjuk yang maha besar), sebagai pernah
datang kepada Nabi Musa a.s.,dia sesungguhnya akan menjadi Nabi bagi ummat kita
ini. dan katakanlah kepadanya hendaklah ia tetap tenang.!”
Sitti Khadijah kembali ke rumahnya,
lalu di ceriterakannya apa yang di katakan oleh waraqah bin Naufal kepada
rasulullah dengan kata-kata yang lemah-lembut yang dapat menghilangkan
kecemasan dan kekhawatiran rasulullah.
Di dalam kitab-kitab tarikh
diriwayatkan, bahwa setelah badan Nabi Muhammad s.a.w. kelihatan telah segar
kembali dan telah seperti sediakala, suaranya sudah berangsur terang, maka
Khadijah mengajak Nabi untuk segera pergi menemui waraqah bin Naufal di
rumahnya, dengan maksud hendak bertanya lebih lanjut secara langsung kepadanya
tentang peristiwa yang telah menimpah diri Nabi yang terjadi dalam gua hira
itu.
Sesampainya Nabi bersama Khadijah
di rumah waraqah bin Naufal, lalu satu sama lain menyampaikan penghormatannya.
Kemudian waraqah menanyakan maksud kedatangan Nabi berdua dengan Khadijah.
Setelah khadijah memperkenalkan
Nabi kepada waraqah, lalu Nabi menceriterakan apa-apa yang baru dialaminya.
Kemudian waraqah berkata: “Quddus,Quddus! Hai (Muhammad) anak saudaraku, itu
adalah rahasia yang paling besar yang pernah di turunkan Allah kepada Nabi Musa
a.s. wahai kiranya aku dapat menjadi muda dan kuat, semoga aku masih hidup,
dapat melihat, ketika engkau dikeluarkan (diusir) kaummu”.
Nabi setelah mendengar perkataan waraqah
yang sedemikian itu, lalu beliau bertanya: “apakah mereka (kaumku) akan
mengusir aku?” waraqah menjawab: “ya, semua orang yang datang membawa seperti
apa yang engkau bawa ini, mereka tetap dimusuhi. Jikalau aku masih menjumpai
hari dan waktu engkau dimusuhi itu, aku akan menolong engkau dengan sekuat
tenagaku.”
Dengan keterangan waraqah itu, Nabi
pun meras mendapat keterangan dan penjelasan yang jelas tentang peristiwa yang
baru dialaminya itu. Juga Khadijah memegang teguh keterangan-keterangan waraqah
itu, dan memang itulah yang dinanti-nantikan selama ini, berita gembira tentang
keangkatan suaminya menjadi rasul.
G. Peranan Khadijah di Saat Nabi Muhammad
s.a.w Menerima wahyu
Sitti Khadijah adalh masih satu
keturunan dengan Nabi Muhammad s.a.w., yaitu bertemu pada Qushai.
Jika diuraikan silsilah keturunan
Nabi Muhammad s.a.w. dan Sitti khadiajah adalah demikian:
Muhammad bin Abdullah bin Abdul
Muththalib bin Hasyim bin Abdul manaf bin Qushai.
Khadijah binti khuwailid bin asad
bin Abdul ‘Uzza bin Qushai.
Jadi di antara ister-isteri Nabi
Muhammad s.a.w. Sitti khadijah inilah yang paling dekat nasabnya dengan beliau.
Sitti khadijah adalh seorang janda
keturunan bangsawan Quraisy. Ia telah dua kali kawin, yang pertama dengan
‘Atieq bin ‘Aabld Al-Makhzumy seorang laki-laki masih tergolong keluarga
bangsawan Quraisy.
Perkawinan sitti khadijah dengan
suaminya yang pertama ini lama berlangsung, hanya menurunkan seorang puteri
bernama Hindun, karena’Atieq meninggal dunia. Kemudian Sitti khadijah kawin
lagi dengan Nabbasy bin Zurarah Attaimy juga seorang laki-laki masih keturunan
keluarga bangsawan Quraisy. Perkawinan Sitti khadijah dengan Nabbasy ini
menurunkan seorang putera bernama Halal dan seorang puteri juga bernama Hindun.
Perkawinan dengan suaminya yang kedua inipun tidak lama berlangsung, karena
Nabbasy meninggal dunia pula. Sehingga kedua kalinya sitti khadijah menjadi
janda.
Sitti khadijah mempunyai pribadi
luhur dan akhlak yang mulia. Dalam kehidupannya sehari-hari senantiasa
memelihara kesucian dan martabat dirinya, ia jauhi adat istiadat yang tidak
senonoh wanita-wanita arab jahiliyah pada waktu itu, sehingga oleh penduduk
Mekah ia di beri gelar “At Thahirah”. Ia mempunyai pikiran yang tajam,
lapang-dada, kuat himmah dan tinggi cita-citanya. Ia suka menolong orang-orang
yang hidup dalam kekurangan dan sangat penyantun kepada orang-orang yang lemah.
Disamping itu ia adalah seorang wanita yang pandai berdagang. Perdagangannya
tidak dikerjakannya sendiri, melainkan dibawa oleh beberapa orang
kepercayaannya atau oleh orang-orang yang sengaja mengambil upah untuk
membawakan dagangannya ke negeri syam dan lain-lain. Perdagangannya sangat
maju, sehingga ia adalah terhitung seorang wanita yang kaya raya dan sangat
dermawan dalam masyarakat Quraisy kota Mekah pada saat itu.
Meskipun Sitti khadijah telah dua
kali kawin, telah menjadi janda dan mempunyai anak, tetapi banyak laki-laki
yang meminangnya untuk mengambilnya menjadi isteri. Tetapi semua pinangan yang
dimajukan itu ditolaknya dengan cara yang bijaksana dan sangat halus, sehingga
laki-laki yang telah ditolak pinangannya itu tidak merasa tersinggung atau
merasa dihina. Demikianlah kebesaran pribadi dan ketinggian budi wanita
pilihan, yang telah di tetapkan oleh Allah dalam qadar-Nya, bahwa wanita
pilihan ini akan menjadi isteri seorang Utusan Allah, yang akan memperbaiki
akhlak kaumnya dan mengangkat derajat kaumnya yang bergelimang dalam lumpur
kesesatan dan kehinaan, ke derajat kemuliaan dan kebahagiaan yang kekal abadi.
Adapun peranan Sitti khadijah,
isteri Nabi Muhammad s.a.w. yang patuh dan setia ini, di saat-saat Nabi menerima wahyu dan keangkatan sebagai
rasulullah (Utusan Allah) secara ringkas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Sitti khadijah kenal benar akan jiwa,
pribadi serta akhlak suaminya (Muhammad s.a.w.) sejak kecil, hingga dewasa dan
kemudian menjadi suaminya, yang tidak puas bahkan sangat tidak suka kepada
adat-istiadat kaumnya menyembah dan mendewakan patng dan berhala. Demikian pula
ia sangat benci kepada kegemaran kaumnya berjudi dan meminum khamar serta
melakukan perbuatan-perbuatan diluar peri kemanusiaan seperti membunuh bayi
perempuan mereka hidup-hidup, karena malu dan takut miskin.
2. Sitti khadijah member suaminya kesempatan
dan keleluasaan yang sebesar-besarnya untuk memasuki kehidupan berpikir dan
alam nafsani, untuk mencari hakikat yang benar dan mutlak, suaminya di beri
dorongan semangat, agar terus mencari hakikat yang benar dan mutlak itu, dengan
tidak dibebani persoalan-persoalan rumah tangga dan untuk membantu melancarkan
roda perdagangannya, karena kesemuanya itu telah diurus oleh Sitti khadijah
sendiri. Dan ketika suaminya bertafakur atau bertahannuts di gua Hira’
disediakannya perbekalan untuk tinggal selama beberapa hari dalam melakukan
tahannuts mencari hakikat yang benat itu.
3. Ketika Muhammad s.a.w. dalam keraguan
dan kebimbangan menghadapi kejadian-kejadian yang dilihatnya dalam tidurnya
(mimpi yang benar), Sitti khadijah sebagai isteri yang setia menyakinkan
suaminya, bahwa dengan akhlaknya yang mulia dan tidak pernah berdusta atau
menyakiti hati orang lain, mustahil ia akan diganggu atau di goda oleh jin dan
setan.
4. Ketika Nabi muhammad s.a.w. dalam
kegelisahan dan kebingungan setelah menerima wahyu yang pertama, Sitti khadijah
menghibur dan menyakinkan hati suaminya, bahwa suaminya akan menjadi Nabi, dan
akan mengangkat derajat kaumnya dari lembah kehinaan dan kesesatan ke derajat
kemuliaan dan kebahagiaan abadi. Kemudian setelah hilang keraguan dan kecemasan
suaminya, pergilah ia ke waraqah bin Naufal menceritakan perihal yang di alami
suaminya. Dan oleh Waraqah ditegaskan berdasarkan pengetahuannya dalam kitab
injil yang dipelajarinya, bahwa Muhammad s.a.w. akan menjadi Nabi.
5. Ketika suaminya menerima wahyu yang
kedua berisi perintah menyuruh mulai bekerja dan berjuang menyiarkan agama
Allah dan mengajak kaumnya kepada agama tauhid, Sitti khadijah adalah orang
wanita pertama yang percaya bahwa suaminya adalah Rasulullah (Utusan Allah),
dan kemudian ia menyatakan ke-islam-annya tanpa ragu-ragu dan bimbang sedikit
juapun.
Peranan Sitti khadijah sebahai
isteri dan wanita pilihan yang memang telah di tetapkan oleh Allah dalam
qadar–Nya, adalah sangat besar sekali dalam usaha suaminya untuk menyeru dan
mengajak kaumnya kepada agama tauhid, dan meninggalkan agama berhala dan
adat-istiadat jahiliyah.
H. Tugas Nabi Muhammad
Menurut riwayat, selama lebih
kurang dua setengah tahun lamanya sesudah menerima wahyu yang pertama, barulah
rasulullah menerima wahyu yang kedua. Di kala menunggu-nunggu kedatangan wahyu
kedua itu, kembali ke rasulullah di liputi perasaan cemas, dan khawatir
kalau-kalau wahyu itu putus, malahan hampir saja beliau berputus asa, akan
tetapi ditetapkannya hatinya dan dan beliau terus bertahannuts sebagaimana
biasa di gua Hira. Tiba-tiba terdengarlah suara dari langit, beliau
menengadah,tampaklah malaikat jibril a.s. sehingga beliau menggigil ketakutan
dan segera pulang ke rumah, kemudian minta kepada Sitti khadijah supaya
menyelimutinya. Dalam keadaan berselimut itu, datanglah jibril a.s. menyampaikan wahyu Allah yang
kedua kepada beliau yang berbunyi:
Dengan turunnya wahyu ini, maka
jelaslah sudah apa yang harus beliau kerjakan dalam menyampaikan risalah-Nya,
yaitu mengajak umat manusia menyembah Allah Yang Maha Esa, yang tiada beranak
dan tiada pula diperanakkan serta tidak sekutu bagi-Nya. Inilah permulaan
perintah menyiarkan Agama Allah kepada seluruh umat manusia.
I.
Menyiarkan
Agama Islam Secara Sembunyi-Sembunyi
Sesudah Rasulullah s.a.w. menerima
wahyu yang kedua yang menjelaskan tugas atas dirinya, mulailah beliau secara
sembunyi-sembunyi menyeru keluarganya tang tinggal dalam satu rumah dan
sahabat-sahabat beliau yang terdekat, seorang demi seorang, agar mereka
meninggalkan agama berhala dan hanya menyembah Allah Yang Maha Esa. Maka yang
mula-mula iman kepadanya ialah isteri beliau sendiri Sitti khadijah, disusul
oleh putera pamannya yang masih amat muda Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin
Haritsah, budak beliau yang kemudian menjadi anak angkat beliau.
Setelah itu lau beliau menyeru Abu Bakar Siddiq, seorang sahabat karib
yang telah lama bergaul dan Abu Bakar pun segera beriman dan memeluk agama
islam.
Dengan perantaraan Abu Bakar,
banyak orang-orang yang memeluk agama Islam,antara lain ialah: Utsman bin
‘Affan,Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurahman bin ‘Auf, Thalhah
bin’ Ubaidillah, Abu ‘Ubaidillah bin Jarrah, Arqam bin Abil Arqam, Fatimah
binti Khaththab (adik Umar bin Khaththab r.a.) beserta suaminya Said bin Zaid
Al’Adawi dan beberapa orang penduduk Mekah lainnya dari kabilah Quraisy. Mereka
itu diberi gelar “As Saabiquunal awwaluun” artinya: orang-orang yang terdahulu
yang pertama-tama masuk agama islam.
Mereka ini dapat gemblengan dan
pelajaran tentang agama islam dari Rasul sendiri di tempat yang tersembunyi di
rumah Arqam bin Abil Arqam dalam kota Mekah.
J.
Menyiarkan
Agama Islam Secara Terang-Terangan
Tiga tahun lamanya rasulullah
s.a.w. melakukan da’watul afraad yaitu: ajakan masuk islam seorang demi seorang
secara diam-diam atau secara sembunyi-sembunyi dari satu rumah ke rumah yang
lain.
Kemudian sesudah ini, turunlah
firman Allah surat (15) Al Hijr ayat 94 yang berbunyi:
Ayat ini memerintahkan kepada Rasul
agar menyiarkan Islam dengan terang-terangan dan meninggalkan cara
sembunyi-sembunyi itu. Maka mulailah Nabi Muhammad s.a.w. menyeru kaumnya
secara umum ditempat-tempat terbuka untuk menyembah Allah dan mengesakan-Nya. Pertama
kali seruan (da’wah) yang bersifat umum ini beliau tujukan kepada kerabatnya
sendiri, lalu kepada penduduk Mekah pada umumnya yang terdiri dari
bemacam-macam lapisan masyarakat, baik golongan bangsawan, hartawan maupun
hamba sahaya, kemudian kepada kabilah-kabilah Arab dari pel bagai daerah yang
datang ke Mekah untuk mengerjakan haji.
Dengan seruan yang bersifat umum
dan terang-terangan ini, maka Nabi muhammad s.a.w. dan agama baru (Islam)yang
dibawanya, menjadi perhatian dan pembicaraan ramai di kalangan masyarakat kota
Mekah.
Pada mulanya mereka anggap gerakan
Nabi Muhammbad s.a.w. itu adalah suatu gerakan yang tidak mempunyai dasar dan
tujuan dan bertahan hidup hanya sebentar saja. Oleh karena itu sikap mereka
terhadap Nabi Muhammad s.a.w. semakin meluas dan pengikut-pengikutnya bertambah
banyak dan seruan Nabi Muhammad s.a.w. semakin tegas dan lantang. Beliau juga
mulai mengecam agama berhala kaumnya
dengan mencela sembahan mereka serta membodohkan pula nenek moyang mereka yang
menyembah berhala-berhala itu.
K. Reaksi Orang Quraisy
Ketika orang-orang Quraisy melihat
gerakan Islam serta mendengar bahwa mereka dengan nenek moyang mereka
dibodoh-bodohkan dan berhala-hala mereka dihina-hina, bangkitlah kemarahan
mereka dan mulailah mereka melancarkan permusuhan terhadap Nabi dan
pengikut-pengikutnya. Banyaklah pengikut Nabi yang kena siksa di luar
peri-kemanusiaan, terutama sekali pengikut dari golongan rendah. Terhadap Nabi
sendiri, mereka tidak berani melakukan gangguan badan, karena beliau masih dilindungi
paman beliau Abu Thalib dan di samping itu beliau adalah keturunan Bani Hasyim
yang mempunyai kedudukan dan martabat yang tinggi dalam pandangan masyarakat
Quraisy sehingga beliau disegani.
Pada suatu ketika, datanglah
beberapa pemuka-pemuka Quraisy menemui Abu Thalib meminta agar dia menghentikan
segala kegiatan Nabi Muhammad s.a.w. dalam menyiarkan Islam, dan jangan
mengecam agama mereka, serta menghina nenek moyang mereka. Tuntutan mereka ini
ditolak
1. Hijrah ke Habasyah (Ethiopia)
2. Pemboikotan Terhadap Bani Hasyim dan
Bani Muthalib
3. Nabi Mengalami Tahun Kesedihan
4. Nabi Muhammad s.a.w Menjalani Isra’ dan
Miraj
5.
Orang
Yastrib Masuk Islam
6. Hijrah ke Yastrib
7. Yastrib Menjadi Madinatun Nabiy
NABI
MUHAMMAD S.A.W MEMBINA MASYARAKAT ISLAM
1. Mendirikan Masjid
2. Mempersaudarakan Kaum Muhajirin dengan
Anshar
3. Perjanjian Perdamaian dengan Kaum Yahudi
4. Meletakkan Dasar-Dasar Politik, Ekonomi
dan Sosial untuk Masyarakat Islam
NABI
MUHAMMAD S.A.W MEMELIHARA DAN MEMPERTAHANKAN MASYARAKAT ISLAM
1. Penggerogotan oleh Orang-Orang Yahudi
2. Penggerogotan Orang-Orang Munafik
3. Rongrongan Orang Quraisy dan Sekutunya
4. Tugas Nabi Muhammad Selesai
PERUBAHAN
YANG DIBAWA OLEH AJARAN NABI MUHAMMAD S.A.W TERHADAP BANGSA ARAB
1. Segi Keagamaan
2. Segi Kemasyarakatan
3. Segi Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar